Anita Puspita Ningrum namanya, gadis muda yang cantik, enerjik dan selalu menebar senyum ramah kepada siap saja yang ia temui. Bu Nita itulah panggilanya sehari-hari, dimana aktifitasnya sebagai seorang guru sekolah dasar di desa terpencil Pulau Sumatera.
Sebenarnya
Anita bukanlah dari kalangan kurang berada, ayahnya seorang pengusaha sukses
di bidang properti, sedangkan ibunya adalah seorang ASN yang bertugas di wilayah perkotaan, yang jaraknya sangat berjauhan dengan Anita.
Pagi itu seperti hari yang lain, Anita bergegas berangkat menuju ke sekolah, yang hari itu ia akan melaksanakan UTS untuk siswa-siswanya. Diliriknya jam yang melekat cantik pada pergelangan tangannya, dan ia pun bergumah “ya Allah terlambat aku”.
Dengan sigap Anita memperbaiki posisi hijabnya yang sedikit kedur, sambil setengah berlari ia menuju ke balai-balai tempat tinggalnya, dimana sepeda ontelnya biasa ia parkirkan. Dengan sedikit memacu sepeda yang ia tunggangi, sesekali melepaskan senyum atau menundukan sedikit punggungnya untuk menyapa setiap orang yang ia jumpai di jalan. Jalan yang dilaluinya sedikit terjal dan curam, dihiasi rumput-rumput mengering di selah kerikil, bukan suatu kendala baginya, pikirannya hanya fokus dengan anak didiknya yang pastinya sudah menanti kehadirannya.
Sesampainya di sekolah, ia pun berlari kecil menuju kantor untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan saat pelaksanaan UTS. Sekolah itu tidaklah besar hanya terdiri dari satu unit kantor dan tiga unit ruang belajar, peralatan di dalam kantorpun seadanya, kursi dan meja tertata rapi walupun mulai rapuh di makan usia. Hanya ada dua orang guru dan keduanyapun berstatus honorer dan Kepala Sekolah yang menyandang status ASN pun jarang datang, dikarenakan beliau sudah berumur senja dan mendekati masa pensiun, terlebih dari itu sang Kepala Sekolah saat ini menderita sakit TBC kronis.
Anita dan rekannya Khofifah adalah guru muda yang cukup cakap dalam mengajar, terbukti dari enam kelas mereka bagi dua dengan menggunakan metode kelas rangkap. Khofifah mengajar kelas satu, dua, dan tiga, sedangkan Anita mengajar di kelas empat, lima dan enam. Jumlah siswanyapun tergolong sedikit, hanya berkisar enam puluhan siswa saja, itu sangat di maklumi karna di desa tempat tinggalnya jumlah warganya masih tergolong sedikit.
Dengan
gersit Anita mulai memberikan penguatan kepada siswanya sebelum melaksanakan
UTS, dan siswanya pun terlihat antusias memperhatikan Anita memberikan motivasi.
Setelah selesai membagikan soal UTS yang ia buat secara mandiri Anita pun duduk
di kursi yang setia menemaninya selama beberapa tahun ini.
Terbayang
kembali oleh Anita saat pertemuannya terakhir dengan kedua orang tuanya, yang
saat itu merasa kecewa dengan keputusan yang diambil olehnya.
“Apa
yang membuat pikiranmu ini terlalu naif Nita!,” ucap ayahnya dengan nada sedikit
tinggi padanya. Anita hanya diam tertunduk, ia tidak mampu untuk sekedar
mengangkat dagunya sedikit, Anita terlalu paham akan watak dan takbiat ayahnya.
Ibunya pun hanya diam dan membelai kepala Anita yang terbungkus dengan hijab
birunya.
“Salah
apa ayah dan ibumu ini hingga kau nekad mengajar di pelosok seperti itu!,” kali
ini dengan sedikit membentak ayahnya bicara.
“Nita,
ayah dan ibumu ini hanya khawatir dengan keadaanmu di sana,” ucap ibunya
lembut,
“Lagi
pula apa sih yang kau cari di sana nak ” kembali ibunya berkata dengan suara lembut
dan sedikit parau menambah suasana hatinya gundah.
“Dari
dulu ayah tidak setuju kalau kau mengambil kuliah jurusan pendidikan, ini
akhirnya, jadi guru honorer yang tidak jelas masa depannya. Di pelosok lagi,” kali ini dengan nada yang sedikit rendah ayahnya berdiri dari balai bambu di
teras belakang rumahnya.
“Ayah
dan ibumu hanya ingin kau bahagia nak, mendapatkan pekerjaan yang baik, kehidupan
dan suami yang pantas buatmu, apakah itu terlalu berlebihan?,” Tanya ayahnya,
tapi tetap Anita terdiam dan tak mampu berkata.
“Bu
guru!, saya sudah selesai,” teriak seorang anak yang membuat lamunannya
terhenti.
“Oh,
sudah selesai yah!, sini kumpulkan ke meja ibu,” jawab Anita pelan.
Yah,
inilah alasan kuat Anita, mengapa semua hal dalam kehidupannya dikorbankan,
untuk satu tujuan yang mulia, melihat anak-anak didiknya menikmati pendidikan yang semestinya, seperti anak-anak yang
berada di daerah lain, yang memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap, nyaman,
dan menyenangkan. Melihat anak didiknya tersenyum menyongsong masa depan yang
lebih baik, sehingga nantinya dapat
membangun daerahnya menjadi lebih berkualitas.
Anita,
adalah cermin seorang guru muda dengan alasan sederhana, mampu mengorbankan kepentingan
pribadinya demi perjuangan dalam pendidikan, mulia sekalikan?.
Cerita nyata dari seorang guru muda yang inspiratif,
10 Komentar
terimakasih pak untuk kisah inspiratifnya, ditunggu untuk kisah selanjutnya pak
BalasHapusTerimakasih Den Ayu,,,
HapusKeren Pak ceritanya....
BalasHapusTerimakasih Pak dah mampir, semoga terhibur dan dapat terinspirasi
HapusIkut hanyut dalam cerita nya pak,,,mannttappp
BalasHapusTerimakasih Bu,, semoga dapat terinspirasi dan terhibur
HapusIkut hanyut dalam cerita nya pak,,,mannttappp
BalasHapusTerima kasih utk sebuah cerita yg bgtu menginspirasi pak, jujur sangat menyentuh skli tulisan Bpk.
BalasHapusOrang mana dan di SD manakah beliau mengajar pak, salut dan bangga dg perjuangan ibu guru muda ini...
Terimakasi Pak Slamet, Mohon maaf saya tidak bisa menyebutkan nama dan tempat tugas beliau. kode etik jurnalistik hehehehe
HapusMantap, motivasi menulis terus bertumbuh. Semakin banyak membaca tulisan akan semakin sedap dinikmati.
BalasHapus