SENJA CERAH DI TANAH SUMATERA (Part 2)


Kaswijo dengan nafas terengah-engah berlari dengan membawa cangkul dibahunya, tubuhnya yang gempal seperti terasa ringan saat dia berlari sampai-sampai caping yang dikenakan terlepas dari kepalanya. Sesampai di pertigaan jalan dia berbelok menuju sebuah rumah panggung yang terlihat sedikit mewah dari rumah-rumah di sekitarnya, rumah yang asri dihiasi beberapa tanaman bunga di dalam pot-pot yang di susun rapi, pohon buah-buahan yang ditanam dibagian kiri dan kanan halaman pun menambah kesejukan dengan rindang daunnya. 

"Pak ... Pak Kades!" Kaswijo berteriak memanggil pemilik rumah yang ternyata adalah seorang Kepala Desa. 

"Assallamu'alikum ... Pak ... Pak Kades!" ulang Kaswijo kembali memanggil sang tuan rumah. 

Selang beberapa saat keluarlah pemilih rumah, dengan perawakan tinggi dan besar serta kulit yang sawo matang. Wajahnya menampakan guratan kearifan seorang pemimpin, terlihat dari rona mukanya beliau berumur sekitar limpuluhan tahun, dan beliau bernama Karto.  Mata sang pemilik rumah melotot memandang Kaswijo,  dan sesaat turun dari tangga rumah panggungnya dengan nada sedikit membentak dan kesal dia berkata,

"Waalaikumsalam ... Kau ini kenapa Jo? Datang-datang berteriak di depan rumah ku! Kesurupan setan apa kau ini?," ucap pak Karto dengan mendekati Kaswijo.

Menyadari kesalahannya, Kaswijo tertunduk dan terdiam sembari berusaha mengatur nafasnya yang tersengal akibat berlari terlalu kencang. 

"Jo.. Jo.. Ayo naik kerumah dulu, kau capek kan?," ucap pak Karto dengan tenang, beliau sudah sangat paham akan watak dan prilaku Kaswijo, beliau juga tahu, pasti ada kabar penting yang akan di sampaikan Kaswijo. 

Tak lama berselang setelah keduanya naik kerumah pak Karto dan duduk di balai-balai, datanglah seorang wanita setengah baya membawa teko dan gelas yang diletakkan diatas baki, terlihat raut wajah yang teduh dan tersenyum lembut. Dapat dipastikan wanita ini dulunya seorang kembang desa karna masih terlihat cantik dan ayu walaupun beberapa lipatan kulit mengerut menghiasi wajahnya. Bu Ranti namanya, beliau adalah istri dari pak Karto. 

"Ini leh ... di minum dulu, badanmu sampai basah gitu, apa mau ikut lomba lari?," sapa bu Ranti dengan sedikit menggoda Kaswijo. 

"Njih bu,  terimakasih," Kaswijo menjawab malu-malu karena merasa digoda, tanpa basa basi Kaswijo menuang air ke dalam gelas dan menenggaknya.

"Nah, sekarang ceritakan, ada apa kamu sampai terburu-buru datang kemari?" tanya pak Karto.

Kaswijo menghela nafas sebentar kemudian menjawab pertanyaan pak Karto. 

"Begini Pak Kades, tadi saat saya di ladang, saya mendengar suara ribut-ribut di dekat jalan menuju kesungai, trus saya dekati sumber suara itu, " Kaswijo menghentikan ceritanya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

"Terus, apa lagi?," tanya pak Karto penasaran. 

"Ternyata suara ribut-ribut tadi, itu suara Pak Herman yang bentak-bentak Bu Nita Pak. Sampai-sampai sepedanya Bu Nita dilemparkan kepinggir jalan sama Pak Herman,  Bu Nita nangis Pak." Kaswijo menghentikan ceritanya dengan memasang mimik wajah sedih. 

"Memang apa yang menyebabkan Pak Herman berlaku seperti itu sama Bu Nita?," tanya pak Karto semakin penasaran. 

"Wah, kalau itu saya kurang paham Pak,  tapi saya sempat mendengar kalau Pak Herman tidak mau anaknya sekolah lagi Pak, selebihnya saya gak tahu," jawab Kaswijo sambil menunduk. 

"Kenapa Pak Herman sampai berbuat seperti itu, sedangkan kita tahu Bu Nita itu tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik. Menurut saya beliau seorang guru yang berdedikasi, beruntung kita memiliki guru seperti beliau, mana ada orang kota, kaya, yang mau datang kepelosok seperti di desa kita, dan mengabdi sebagai guru honorer?, ini tidak bisa di biarkan. Jo, kamu cepat pergi ke rumah Pak Herman dan Bu Nita bilang ke mereka, malam nanti ba'da isya saya tunggu mereka di rumah saya. Masalah ini harus diselesaikan!" ucap pak Karto seraya berdiri dari duduknya. 

"Baik Pak Kades, sekarang juga saya laksanakan," jawab Kaswijo sembari pamit untuk melaksanakan perintah pak Karto. 

Anita Puspita Ningrum, mulai berkemas setelah selesai sholat isya, dia bersiap menuju ke kediaman orang nomor satu di desa tempat pengabdiannya. Anita masih terbayang dengan perkataan pak Herman yang membuat hatinya nyilu, bukan karena kata-kata kasar pak Herman tetapi lebih mengerucut pada keputusan pak Herman untuk menghentikan anaknya sekolah. 

Anita berjalan berlahan seraya berfikir mengapa pak Karto memanggilnya?, setelah Kaswijo menyampaikan pesan pak Karto petang tadi, Anita merasa ada yang aneh dari mimik Kaswijo dalam menyampaikan amanat pak Karto. 

"Assallamu'alikum ..." Anita mengucapkan salam ketika telah berada persis di pintu masuk ruang tamu rumah pak Karto.

"Waalaikumsalam ..." terdengar suara balasan salam dari dalam rumah pak Karto.

Terdengar suara papan lantai rumah pak Karto berderit, yang menandakan seorang melangkah mendekati pintu masuk ruang tamu pak Karto.

"Sudah sampai rupanya ... mari Bu Nita silahkan masuk." ternyata pak Karto yang menyambut dan memperilahkannya masuk.

"Silahkan duduk Bu.." ucap pak Karto, setelah mereka sampai di serambi ruang tamu.

"Oh ... iya Pak, terimakasih" jawab Anita seraya duduk menghadap kearah pintu ruang keluarga pak Karto. Ternyata telah hadir juga pak Herman beserta Andi anaknya, wajah pak Herman berubah kecut ketika Anita menatap dan memberikan senyum hormat kepadanya.

Anita tak habis pikir, mengapa pak Herman sepertinya masih menyimpan dendam padanya, sedangkan menurut Anita sudah cukup konflik yang terjadi siang tadi. Anita kemudian tertunduk dan tak berani menatap wajah pak Herman.

"Pak Herman ... dan juga Bu Nita ... saya sudah mengetahui apa yang terjadi siang tadi antara kalian berdua." Ucap pak Karto dengan datar, membuat Anita maupun pak Herman sedikit kaget.

"Saya ingin tahu apa permasalahan yang sebenarnya terjadi ... karena ini menyangkut dengan ketentraman warga, jadi saya memanggil kalian berdua untuk menyelesaikan permasalahannya." sambung pak Karto, mereka semua terdiam, Anita mengalihkan pandangannya ke arah jendela di sebelah kirinya yang terbuka lebar, sedangkan pak Herman hanya menunduk tak bersuara.

"Pak Herman ... tolong jelaskan ke saya, apa yang sebenarnya terjadi? dan apa pula permasalahannya?." Kali ini ucapan pak Karto dengan suara yang tegas.

"Eh ... begini Pak Kades ... sebenarnya tidak terjadi apa-apa, kami hanya ngobrol saja." Jawab pak Herman sedikit gugup.

"Dengan membanting dan merusak sepeda Bu Nita ... itu sama dengan ngobrol?." Nada bicara pak Karto mulai meninggi dan dengan sedikit mencondongkan badannya kedepan.

"Jawab pertanyaan saya dengan jujur Pak Herman ... saya tidak mau main-main!" kembali pak Karto berbicara dengan nada kesal.

"Sebenarnya ... saya hanya ingin anak saya Andi berhenti sekolah Pak, tapi Bu Nita selalu mempengaruhi anak saya agar tetap sekolah Pak.." Dengan cepat pak Herman menjawab pertanyaan pak Karto yang sudah mulai tersulut emosi.

"Benar seperti itu yang terjadi Bu Nita?' tanya Pak Karto mengagetkanku.

"Eh ... maaf, iya Pak." Jawab Anita singkat seraya menganggukan kepala.

"Sekarang silahkan jelaskan pada saya Pak Herman, mengapa sampean sangat ingin Andi berhenti sekolah? jawab dengan jujur dan jangan berbelit-belit seperti tadi ... saya tidak suka." ujar pak Karto meyakinkan pak Herman untuk menjawab pertanyaannya.

"Anu ... begini Pak, sebenarnya saya itu kerepotan di ladang, sedangkan Pak Kades tahu sendiri kalau istri saya lagi hamil anak kami yang ke lima dan tidak bisa membantu saya di ladang. Sedangkan Andi sudah besar, sudah sepantasnya dia membantu saya sekarang ini. Tapi ... Bu Nita selalu mempengaruhi Andi tentang khayalan-khayalan masa depannya. Andi itu anak petani miskin Pak ... mana mungkin bisa menjadi seorang dokter, tentara, pengusaha, mimpi itu Pak ... mimpi ..." jelas pak Herman dengan suara yang bergetar dan mata yang mulai berkaca-kaca.

Semua yang ada di dalam ruangan hening, hanya suara jangkrik dan binatang malam yang terdengar dari luar rumah, setelah mendengar pernyataan pak Herman.

Sayup-sayup terdengar isak tangis lirih Andi mendengarkan Ayahnya bicara. Anita pun tak kuasa membendung air matanya, dia tidak menangisi pendapat pak Herman untuk memberhentikan Andi sekolah, yang dia tangisi adalah situasi dan keadaan yang sulit yang dialami oleh Andi saat ini. Keinginan Andi untuk menggapai cita-citanya kini terhalang tembok yang menjulang tinggi. Dua sisi mata belati yang sama tajamnya.

Apakah harus berakhir tragis seperti ini cerita kehidupan seorang anak yang mendambakan masa depan dan kehidupan lebih layak untuknya beserta keluarganya?.       


 Hari ke-14 tidur memeluk kursi    

Posting Komentar

6 Komentar

 AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR